Makalah Pkn
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertama-tama
kami panjatkan rasa syukur atas kehadirat Allah swt. Karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem Politik
Indonesia” sebagai analisis untuk melihat
bagaimana sistem politik di Indonesia.
Shalawat
serta salam tak lupa senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad saw. yang telah menghantarkan kita umat manusia dari alam kegelapan
menuju alam terang benderang yang penuh dengan cahaya islam, keimanan dan cinta
kasih terhadap sesama umat.
Kami
menyadari, bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penyusunan dan penyempurnaan
selanjutnya. Selain itu, ucapan terima kasih kami haturkan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dengan adanya makalah ini,
diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal Alamin .....
Wasalamualaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………...........………....1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..........……....2
BAB I PENDAHULUAN...……………………………………………..........…3
A. Latar
Belakang…...…………………………………………..3
B. Rumusan
Masalah…………………………………….....….4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………..........…....5
A. Pengertian Sistem Politik …..……………………………..…5
B. Proses Politik Di Indonesia…....…………………….....……6
BAB III PEMBAHASAN.....………………………………………………...........8
A. Sistem Politik Masa Orde Lama.…………………….....…....8
B. Sistem Politik Masa Orde Baru……………………………...12
C.
Sistem Politik Masa Reformasi…………………………..….18
BAB IV PENUTUP……………………………………............…………………..27
A.
Kesimpulan…………………………………....……………....27
B.
Saran……………………………………………………….…..28
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….............…....29
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea IV. Tujuan negara tersebut
akan terwujud apabila ditopang dengan pertumbuhan demokrasi yang baik. jiwa
demokrasi bangsa indonesia adalah filsafat pancasila, khususnya sila IV
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Partai politik adalah bagian dari perwujudan
demokrasi juga partai politik adalah sarana ekspresi hak asasi manusia, yaitu
hak berkumpul dan mengeluarkan pendapat, oleh karena itu demokrasi akan
terwujud dengan baik kalau partai politik juga hidup dan berkembang dengan
baik. Partai politik akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila ada politik
hukum kepartaian yang memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya partai
politik yang baik.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, perubahan-perubahan terjadi di segala bidang, khususnya di bidang
politik terjadi adanya perubahan kesempatan untuk berpartai politik. Kalau pada
masa penjajahan, partai politik banyak diperhangus maka setelah merdeka
pemerintah dengan Maklumat Presiden No. 3 Tahun 1945 memberikan kesempatan
kepada masyarakat yang seluas-luasnya untuk mendirikan partai politik. Namun
perjalanan selanjutnya, politik hukum kepartaian mengalami pasang surut
terutama setelah reformasi dimana salah satu tuntutan reformasi adalah
penegakan hak asasi manusia dan demokratisasi dalam segala bidang. Untuk
membahas masalah tersebut, akan dibahas terlebih dahulu masalah bagaimana
politik hukum kepartaian selama orde lama, politik hukum kepartaian pada masa
orde baru, dan politik hukum kepartaian pada masa reformasi. Berdasarkan
pengalaman kepartaian tersebut juga akan disampaikan catatan-catatan yang patut
untuk dijadikan kebijakan politik hukum kepartaian dan kehidupan partai politik
ke depan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut “Bagaimana sistem politik di Negara Indonesia pada masa orde lama, orde
baru, hingga pada masa reformasi?”.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
sistem Politik
1. Pengertian
Sistem
Sistem
adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.
2. Pengertian
Politik
Politik
berasal dari bahasa yunani yaitu “polis”
yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan
berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara
Istilah
politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar
dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya
menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi.Politik biasanya
menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat
disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang
kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
3. Pengertian
Sistem Politik
Menurut
Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang
membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur
pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara
mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan
hubungan Negara dengan Negara
Sistem
Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah
Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur
politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang
langggeng
4. Pengertian
Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik
Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam
Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi
dan penyusunan skala prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara
yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam
Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang
seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan
infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan
tujuan-tujuan masyarakat/Negara.Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur
politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia
diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang
akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan
yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan
(Interest Group), Kelompok
Penekan (Presure Group),
Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan
infrastruktur politik, melalui
badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan
dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya
partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan
aspirasi dan kehendak rakyat.
B. Proses
Politik Di Indonesia
Sejarah
Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari
masa-masa berikut ini:
-
Masa
Orde Lama
-
Masa
Orde Baru
-
Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian
dianalisis secara sistematis dari aspek
:
-
Penyaluran tuntutan
-
Pemeliharaan nilai
-
Kapabilitas
-
Integrasi vertical
-
Integrasi horizontal
-
Gaya politik
-
Kepemimpinan
-
Partisipasi massa
-
Keterlibatan militer
-
Aparat Negara
-
Stabilitas
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Sistem Politik Masa Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan
diri sebagai negara merdeka, disusul tanggal 18 Agustus 1945 PPKI bersidang
yang antara lain menetapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan
norma dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan Pancasila dan UUD 1945,
berarti bangsa Indonesia menginginkan bangunan negara yang demokratis.
Pada masa Orde Lama (1945 sampai dengan 1965),
perkembangan demokrasi mengalami berbagai sistem: (Arif Hidayat, 2006: 64-70).
1.
Periode Tahun 1945-1949: Masa Sistem Politik Demokrasi
Presidensiil dan Demokrasi Parlementer.
a.
Periode 17 Agustus 1945-11 Nopember 1945: Masa Sistem
Politik Demokrasi Presidensial.
Secara prinsip,
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
b.
Periode 14 Nopember 1945-27 Desember 1949: Masa Sistem
Politik Demokrasi Parlementer.
Ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden tanggal
14 Nopember 1945 yang berisi susunan kabinet baru di bawah Perdana Menteri Suan
Sahrir.
Pembaharuan sistem politik tersebut semakin memperjelas
pergeseran sistem politik Indonesia ke arah yang lebih pluralistik atau
liberal, yang sebelumnya telah diawali dengan dikeluarkannya maklumat 3
Nopember 1945 yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia
untuk mendirikan partai politik dalam wadah sistem multipartai-partai. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem politik parlementer tersebut lebih menekankan pada
peranan rakyat dari pada peranan negara. (Moch. Mahfud MD, 1993 : 100-101)
Dengan demikian Maklumat Presiden 3 Nopember 1945 ini
merupakan peletak dasar bagi adanya sistem kepartaian di Indonesia untuk
masa-masa berikutnya. Meskipun
pemilihan umum belum bisa dilaksanakan karena keadaan yang tidak mengijinkan.
(Afan Gafar, 1999: 11).
Masa Konstitusi 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, konstitusi
RI menganut betuk Republik Federasi dengan sistem Pemerintahan Parlementer.
2.
Periode Tahun 1959-1966: Masa Sistem Politik Demokrasi terpimpin (Era Orde Lama).
Konstitusi RIS tidak berjalan lama. Atas
desakan rakyat Indonesia yang menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
maka pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatangani Piagam Persetujuan antara
Pemerintah RI dengan Pemerintah RIS oleh A. Halim (Perdana Menteri RI) dan Drs.
Moh. Hatta (Perdana Menteri RIS), yang berisi kesepakatan untuk segera kembali
kepada bentuk “Negara Kesatuan” sesuai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Hasilnya dibentuk UUDS 50 pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan
mendapat persetujuan dari BPKNIPRJ, serta DPR dan Senat RIS. Sesuai dengan
namanya, UUDS 1950 hanya bersifat sementara yaitu sampai disusun dan ditetapkan
UUD baru. Menurut ketentuan Pasal 134 UUDS 1950, badan yang mempunyai wewenang
untuk menyusun dan menetapkan UUD baru adalah Konstituante bersama-sama dengan
Pemerintah. Untuk itulah pada tahun 1955 ada diadakan Pemilu untuk memilih
anggota Konstituante dan anggota-anggota DPR, yang diikuti banyak partai.
Melalui Pemilu 1955 yang aman dan damai berhasil dibentuk Konstituante yang
dilantik pada tanggal 10 Nopember 1956 di Bandung.
Pemilu
1955, pemilu pertama yang multipartai, bahkankan menyertakan TNI dan Polri
untuk ikut memilih. Adanya pemilu multipartai
yang tertib dan damai paling tidak mencerminkan hal-hal sebagai berikut:
1)
Adanya kemauan kuat dari rakyat Indonesia yang baru saja
terlepas dari penjajahan untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan UUD yang berjiwa semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.
2)
Adanya politik hukum dari penguasa yang memberikan
kedaulatan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya melalui pembentukan partai
politik.
3)
Adanya kesadaran hukum masyarakat yang tinggi sehingga
pemilu yang multipartai tahun 1955 dapat berjalan tertib dan damai.
Namun pemilu yang tertib dan damai
tersebut di atas ternyata tidak tercermin dalam sidang-sidang di Konstituante.
Hal itu terbukti dengan adanya kepentingan-kepentingan partai politik ataupun
golongan yang menonjol, sampai pada akhirnya adanya ancaman suatu partai yang
tidak akan menghadiri sidang kembali, sehingga tugas Konstituante untuk
membentuk UUD baru menjadi tidak menentu.
Dalam kondisi seperti ini, maka pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit, yang kemudian dikenal dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959” yang dmuat dalam Keppres RI No. 150 Tahun 1959 yang
isinya berupa:
1)
Perintah untuk membubarkan
Konstituante;
2)
Keputusan untuk memberlakukan kembali UUD 1945
3)
Penarikan kembali UUDS 1950 dan mendirikan
lembaga-lembaga kenegaraan sesuai UUD 1945 dalam waktu sesingkat-singkatnya.
(AB Nasution, terjemahan Silvia Tiwon, 1995: 405).
Dengan
berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka secara politis berlakulah sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Pada
masa ini partai politik dibiarkan hidup (kecuali partai Masyumi yang dilarang),
tetapi pembinaannya praktis di bawah Presiden. Selama ini juga tidak ada pemilu
sebagai sarana untuk membina dan mendewasakan partai politik. Partai politik
cenderung konfrontatif dengan ideologi yang berseberangan. Bahkan dalam pidato
Presiden Soekarno dalam rangka HUT Proklamasi 17 Agustus 1957 dan 1958 antara
lain ditegaskan :
1)
Konstituante harus meninjau dan memutuskan masalah
demokrasi terpimpin dari masalah kepartaian.
2)
Sistem kepartaian harus disederhanakan dengan mencabut Maklumat
Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 dan menggantikannya dengan undang-undang
kepartaian dari undang-undang pemilu. (Moch. Mahfud, 1989: 45-47)
Dengan
demikian pasca berlakunya UUDS 50 sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
5 Juli 1959 sampai 1966, politik hukum kepartaian di Indonesia dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1)
Pada awal berlakunya UUDS 1950, politik hukum kepartaian
masih melanjutkan Maklumat Presiden 3 Nopember 1945, yang memberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sehingga munculah sistem
multipartai.
2)
Pada era Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah
cenderung memberikan pembatasan pada partai politik, bahkan peran partai
politik dideligitimasi, hal ini terbukti dengan dicabutnya Maklumat Presiden 3
Nopember 1945 dan partai politik harus disederhanakan. Bahkan ada partai
politik yang dibubarkan (Partai Masyumi) sebaliknya ada partai politik yang
mendapat posisi istimewa, yaitu Partai Komunis Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan adanya doktrin Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis).
B. Sistem
Politik Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia.Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela
di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Indonesia pada masa terakhir Orde
Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia
akhirnya tergantung pada satu tangan presiden. Badan legislatif tidak lagi
berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lainhanya mendukung presiden. Kritik
yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan
pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri BintangPamungkas menunjukkan bagaimana
monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu
sangat vokal dan kritis.
Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre
(1994)[3], melukiskan perkembangan struktur kekuasaan Orde Baru yang mencakup
didalamnya monopoli komunikasi politik. Mereka membagi tiga fase dalm iklim
politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan atmosfir terbuka,
kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan ekspresi politik
masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu komunikasi politik di
Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik pemerintahan lama, Orde Lama,
karena kegagalannya membendung komunis dan merebaknya kemiskinan. Masa awal ini
mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang
dalam media massa dan pembentukan partai politikyang jumlahnya saat ini lebih
dari 50 partai.
Periode kedua 1974-1983 dimulainya
pengawasan terhadap komunikasi politik dimana aktivitas politik, pers dan
pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan pada fase 1983-1990, kontrol sosial
sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4
dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini pada periode 1990-1998, monopoli
politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan
sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut
keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai
diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan sepertiLSM dan kalangan
kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi manakala
demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncak pada
pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Bagaimana komunikasi politik itu
dikendalikan secara institusional pada era Orde Baru ? Barangkali gambaran dari
Cosmas Batubara (1993) [4] bisa sedikit menguak struktur komunikasi politik
Orde Baru. Menurut Cosmas, pada masa awal pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru,
peran pemerintah sangat besar.
Hal ini terjadi karena situasi
politik ekonomi, budaya dan hankam yang memaksa pemerintah mengambil peran
lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunan politik, ekonomi dan
sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meski sebenarnya diabdikan untuk
rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi dalam sistem politik
Indonesia. Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik,
birokrasi menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral.
Ia tak hanya mewadahi aspirasi
rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara tapi juga berperan
sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat. Namun
terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjaga dan
kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah dibentuk
Orde Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan keteraturan itu
demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraanrakyat”. Mengapa
terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggsseperti
dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas, overlapping
dan heteroginitas
Pada tahap awal, Soeharto menarik
garis yang sangat tegas. Orde Lama atau OrdeBaru. Pengucilan politik - di Eropa
Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait
dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi criminal dilakukan dengan menggelar
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto
sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dansebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan
dengan pengucilan politik melalui pembuatanaturan administratif. Instrumen
penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong
Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuanutamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yangdidominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan
Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh
pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi
tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep
pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II1966 dan konsep akselerasi
pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik
dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu
sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopangkekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional,Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena
pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hinggake Mahkamah Agung
dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa
Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari
kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilihuntuk menghindari dunia politik
karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada tanggal 30
September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan PKI yang kemudian dikenal dengan
G3S/PKI. Akibat pemberontakan G 30S/PKI pada tanggal 10 Januari 1966 para
demonstran mengajukan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) kepada
Pemerintah, yaitu:
a. Bubarkan
PKI;
b. Turunkan
harga/perbaiki ekonomi; dan
c. Retoll
kabinet Dwikora.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden
Soekarno mengeluarkan Surat Perintah yang isinya antara lain: ”Memerintahkan
kepada Menteri Pangab Letjen Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu
demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan
dan jalannya revolusi.” (Arif Hidayat, 2006: 100).
Berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
tersebut kemudian diambil tindakan dengan penetapan pembubaran dan pelarang PKI
beserta seluruh ormasnya dari tingkat pusat sampai ke daerah terhitung mulai
tanggal 12 Maret 1966, yang dituangkan dalam keputusan Presiden No. 1/3/1966
tanggal 12 Maret 1966. Dengan demikian ini adalah pelarangan kedua suatu partai
politik yang hidup di Indonesia. Pada masa Orba, Pemerintah mengadakan
perubahan di bidang partai politik dengan pembentukan Golongan Karya sebagai
partai pemerintah. Hal ini didorong adanya Ketetapan MPR No. 11/MPRS/1966 yang
memerintahkan agar pemerintah segera menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya
tanggal 5 Juli 1968. Dalam Pasal 3 nya dimuat ketentuan mengenai komposisi DPR
dan DPRD yang terdiri dari golongan politik dan golongan karya.
Upaya menguasai pegawai negeri sipil
(PNS) diawali dengan pembentukan Kokar Mendagri yang kemudian diperluas ke
seluruh jajaran birokrasi dengan nama Korpri yang dimasukkan sebagai salah satu
komponen Golkar. (Arif Hidayat, 2006: 117).
Ø Konflik yang Terjadi Pada Masa Orde
Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan
bangsa Indonesia.Setiap hari media massa seperti radio dan televisi
mendengungkan slogan"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara
yang dilakukan oleh pemerintahadalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang
padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program iniadalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan
bantuan pemerintah.Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan
jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua
transmigran ituorang Jawa.
Pada
awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara laindalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan
terhadap para transmigran.
C.
Sistem
Politik Masa Reformasi
1. Masa
Reformasi
Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton
sebagai sebuah proses pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir
begitu saja. Ada sebuah proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau
masukan. Proses input ini terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan
dan tuntutan (suplay and demand).
Adapun setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel input tersebut,
maka proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran dari sebuah
sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau
kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses
konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan
terus berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian seterusnya, bahwa proses politik dari
sebuah sistem politik tidak akan pernah berakhir karena adanya proses feed-back
tersebut.
Pasca
runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun
1998.Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga
“Orde Reformasi”. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh
O’Donnell dan Schmitter disebutnya fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara
teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Apa
yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan
hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi
individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai
antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika
Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang
selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara.Konsekuensi dari liberalisasi
politik ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik.Ledakan ini
terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi
politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau
praktek penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan
elit politik ditandai dengan maraknya pendirian partai politik.
Sebagai
perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik
berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai
politik banyak.Klimaks dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya
pemilu di tahun 1999.Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua
setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut sebagai pemilu
paling bersih.
Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir.Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.Era Reformasi di Indonesia dimulai pada
pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Krisis
finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto
saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir diseluruh Indonesia.Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun
luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Awal
masa era reformasi yaitu pada massa presiden Soeharto, dimana pada saat itu
sangat kacau, sebabnya pemerintahannya lenser seiringgan dengan memundurkan
diri menjadi presiden pada saat itu. Hal ini berarkibatkan banya
kejadian-kejadian yang sengat menyedihkan sebab semuanya mengalami kerugian
yang amat mendalam pada saat terjadinya reformasi secara besar-besaran yang
terjadi pada tahun 1998.
Terjadinya
transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J. Habibie
pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem
politik Indonesia. Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi
sistem politik Indonesia dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang
lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju proses demokratisasi sejak itu
menjadi terbuka lebih lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat
dari adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
dari yang bercorak sentralistis ke corak yang lebih birokasi dan militer
sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik, juga perubahan
kerangka kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan
pemilu yang lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan
terdesentralisasi.
Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi.Sebagai orde
transisi politik di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi
dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi.Pertanyaan mendasar
kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat pada tataran
transisi?.
Kran
demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya
partisipasi politik.Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan
yang telah memperhitungkan sebelumnya.Sebuah sistem politik yang sangat akut
ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat
seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah
sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di
mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem
politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga
berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah
kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk
terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan.
Sehingga
proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan
berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa
tidak berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia
yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah
rakyat dengan benang sutra.
Reformasi
yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa
atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan
di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi
juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini,
masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa sakit. Sebagai
salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir adalah sebuah sistem
politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan
dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya,
yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan
agamawan sebagai sosok nabi.
Secara ringkas, untuk lebih jelasnya berikut beberapa
reformasi politik yang dilakukan di Indonesia pada masa era reformasi,
diantaranya ialah :
1. Penyelenggaraan pemilu sebagai wujud
partisipasi rakyat. Jika pada masa orba pemilu yang diadakan lima tahun sekali
hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto dengan memobilisasi massa
rakyat, tapi sekarang dilakukan dengan sistem distrik dan tidak ada lagi
ketakutan untuk menentukan pilihan terhadap partai dan tokoh yang dikehendaki.
2. Reformasi struktur dan fungsi
politik yuang melekat pada struktur trersebut. Jika pada masa orba
pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPR, tapi kenyataannya MPR tidak
punya kekuatan cukup untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Selain itu
reformasi struktur politik dan pemerintahan juga menyentuh usaha penguatan
fungsi legislasi DPR, diantaranya DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan, dan lain sebaganya.
3. Reformasi sistem kepartaian. Pada
masa orba, parpol tidak diberi ruang untuk berkembang dan melaksanakan
fungsinya, tapi kini setiap parpol dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai
dengan kehendak dan cita-citanya asal tidak bertentangan dengan pancasila dan
UUD 1945.
4. Reformasi penyelenggaraan pemerintah
daerah. Selama masa orba penyelenggaraan pemda diwarnai kuatnya peran pusat
dalam menetukan pembangunan di daerah. Namun setelah adanya reformasi kini
pembangunan daerah dapat sesuai dengan aspirasi dan potensi yang ada di daerah.
Pada masa reformasi, masyarakat di
beri keleluasaan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam,
sehingga masyarakat umum atau rakyat pun lebih terasa bebas dalam menyalurkan
aspirasinya.Selain itu beberapa keorganisasian yang tumbuh dalam masyarakatpun
semakin beragam dan terlihat semakin aktif dalam memengaruhi kebijakan publik
yang berkenaan dengan bidang yang mereka tekuni.Sehingga dari sisni dapat
terlihat bahwa aspirasi masyarakatpun semakin dapat tereksplore dengan mudah
dan bebas tanpa adanya tekanan dari pihak pemerintah seperti selama masa orde
lama dan baru.
Beberapa hal
yang terjadi pada masa reformasi :
a. Penyaluran
tuntutan : tinggi dan terpenuhi
b. Pemeliharaan
nilai : Penghormatan HAM tinggi
c. Kapabilitas
SDA : disesuaikan dengan otonomi daerah
d. Integrasi
vertikal : dua arah, atas bawah dan bawah atas
e. Integrasi
horisontal : nampak, muncul kebebasan
(euforia)
f. Gaya
politik : pragmatik
g. Kepemimpinan
: sipil, purnawirawan dan politisi
h. Partisipasi
masa : tinggi
i.
Keterlibatan militer : dibatasi
j.
Aparat negara : harus loyal kepada
negara bukan pemerintah
k. Stabilitas
: instabil
2.
Politik Hukum di Masa
Reformasi
Keberhasilan pembangunan bidang
ekonomi pada masa Orde Baru telah menumbuhkan rasa percaya diri yang
berlebihan. (Arif Hidayat, 2009: 149). Tetapi di balik itu terjadi distorasi di
bidang politik, khususnya partai politik (PPP dan PDI) yang sekedar lipstik
demokrasi Pancasila. Realitasnya, hanya Golkar (karena berbagai macam fasilitas
dari penguasa) yang semakin perkasa.
Tahun 1997, krisis finansial global mulai melanda dunia.
Tahun 1998, krisis tersebut akhirnya juga menerpa di Indonesia. Demonstrasi dan
desakan mundur Presiden Soeharto terjadi dimana-mana, menuntut adanya
reformasi.
Adapun tuntutan
reformasi tersbeut meliputi:
a.
hapuskan KKN;
b.
penegakan hukum;
c.
demokratisasi dalam segala bidang;
d.
penegakan hak asasi manusia;
e.
otonomi
daerah yang seluas-luasnya;
f. redifinisi, reaktualisasi dan reposisi dwi fungsi ABRI; serta
g.
kebebasan pers.
Tanggal
21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie sebagai
Presiden Republik Indonesia. Pemerintahan
Presiden Habibie mulai mengadakan usaha untuk mereformasi diri dengan
mewujudkan tuntutan-tuntutan reformasi tersebut di atas.
Menurut
Suwoto Mulyo
Sudarmo, politik hukum yang harus digunakan untuk melakukan reformasi
setidak-tidaknya harus meliputi beberapa hal sebagai berikut.
a.
Mengurangi kekuasaan Presiden dengan
cara mendestribusikan kekuasaan secara vertikal dan membagikan kekuasaan secara
horisontal;
b.
Mengubah
kekuasaan yang sentralistik dan mengganti yang ke arah desentralistik;
c.
Meningkatkan
peran DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif dan
meningkatkan peran DPR di bidang legislatif;
d.
Mengubah
struktur keanggotaan MPR dan menggunakan sistem bikameral;
e.
Mengembalikan
hak atas kedaulatan kepada rakyat dengan cara melaksanakan pemilu dengan sistem
distrik dan pemilihan Presiden dan Wakilnya langsung oleh rakyat;
f. Menjaga agar terjadi kekuasaan yang seimbang antara cabang-cabang kekuasaan
melalui sistem cek and balance;
g.
Menata
sistem peradilan
agar tumbuh kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan;
h.
Membangun struktur perekonomian yang
memberikan jaminan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat;
i.
Amandemen konstitusi yang didalamnya
memerinci hak asasi manusia, kewajiban penyelenggara negara dan pembatasan atau
pengendalian kekuasaan pemerintah (Suwoto Mulyo Sudarmo, 1997: 45-46).
Menurut Arbi Sanit, substansi
reformasi politik harus menyangkut perubahan yang meliputi unsur sistem politik
dan aspek kehidupan politik. Aspek sistem politik yang harus dirubah menyangkut
struktur, kultur, proses dan produksinya.( Arbi Sanit, 1998: 105106).
Untuk mengakomodir desakan tuntutan reformasi, MPR hasil
pemilu 1997 mengadakan sidang istimewa tahun 1998. Salah satu ketetapan MPR
yang erat kaitannya dengan politik hukum kepartaian adalah ketetapan MPR No.
14/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI No. 3/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum, yang di
dalamnya mempercepat pelaksanaan pemilu berikutnya dari rencana semula tahun
2002 menjadi selambat-lambatnya harus diadakan pada bulan Juni 1999. Atas dasar
arahan kebijakan yang telah digariskan melalui berbagai ketetapan MPR yang
dihasilkan oleh MPR dalam sidang istimewa tersebut di muka, Pemerintah bersama
DPR melakukan perubahan berbagai undang-undang di bidang politik. Sebagai
hasilnya adalah ketika rancangan undang-undang (RUU Kepartaian, RUU Pemilu, RUU
Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) pada tanggal 28 Januari 1999 disetujui
secara aklamasi dalam rapat paripurna DPR yang kemudian pada tanggal 1 Pebruari
1999 disahkan oleh Presiden BJ Habibie. Ketiga undang-undang
politik tersebut adalah :
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (LN No.
2/1999. TLN No. 3809);
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu (LN No. 23/1999. TLN No. 3810);
3.
UU
No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (LN. 24/1999.
TLN
No. 3811).
Dengan
berlakunya undang-undang tersebut
telah membuka babak baru perjalan sistem politik di Indonesia, yaitu
transformasi dari sistem sentralistik otoritarian ke arah sistem politik
desentralistik demokratis. (Arif Hidayat, 2006: 162).
Arif
Hidayat antara lain menyatakan bahwa karakteristik menonjol yang dapat dilihat
undang-undang tersebut adalah:
1.
Terjadi
perubahan fundamental dalam sistem kepartaian. Sistem multipartai dipakai untuk
menggantikan sistem kepartaian terbatas yang dianut oleh rezim orde baru.
2.
Terjadi
perubahan dan penambahan dalam asas, organisasi penyelenggara, pengawas dan
pemantau pemilu serta peserta pemilu.
3.
Dilakukan
penataan ulang susunan kedudukan MPR, DPR, DPRD (Arif Hidayat, 2006: 162).
Kebebasan politik yang selama orde
baru terpasung, di era reformasi kungkungan itu lenyap dan berganti dengan
munculnya eforia kebebasan di semua bidang kehidupan. Dalam kehidupan politik,
eforia kebebasan ditandai dengan tumbuh dan menjamurnya partai-partai politik
baru.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk
republik, dengan memakai system demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan
rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan. Para Bapak Bangsa yang meletakkan dasar pembentukan Negara
Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.Mereka
sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan
budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sistem politik yang pernah berlaku di
Indonesia antara lain : Sistem politik masa orde lama, orde baru, dan reformasi
.
Sistem politik Indonesia itu sendiri diartikan
sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang
berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya
mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala
prioritasnya
Konstitusi Negara Indonesia adalah
Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab
penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga
negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga
negara.Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang
dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet.Di
tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur,
sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang
bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama
badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya.
B. Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya,
jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis
mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan
buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “Sistem
Politik Indonesia”.
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang
dapat mendorong para siswa-siswi berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281959-1968%29
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29
http://209.85.175.104/search?q=cache: S3YhgBx1fgJ:avaproletar.blogspot.com/2007/12/indonesia utopiademokrasi.html+sistem+pemerintahan+setelah+proklamasi&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id&xclient=firefox-a
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29
http://209.85.175.104/search?q=cache: S3YhgBx1fgJ:avaproletar.blogspot.com/2007/12/indonesia utopiademokrasi.html+sistem+pemerintahan+setelah+proklamasi&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id&xclient=firefox-a
A.A.G.N. Ari Dwi Payana
Dkk. 2004. Menuju Pemilihan Umum Transformatif. Yogyakarta IRE
Press
AB Nasution. 1995. Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia, Studi Sosiolegal atas Konstituante 1956-1959,
Terjemahan Silvia Tiwon, Jakarta : Pustaka Utama Graviti
Gafar, Afan. 1999. Politik Indonesia:
Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hidayat, Arif. 2006. Kebebasan Berserikat
di Indonesia. Semarang : UNDIP
Khoirudin. 2004. Partai Politik dan
Agenda Transisi Demokrasi, Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajajar
Kompas, Kamis 23 April
2009
Mahfud MD, Moch. 1993. Perkembangan Politik
Hukum: Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum
Indonesia. Yogyakarta : UGM
______________. 1999. Pergolatan Politik dan
Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media
________________.1989. Tampilnya Negara Kuat
Orde Baru, Studi Teoritis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan
Negara di Indonesia, Yogyakarta : UGM
Maksum, Saefullah. 2001. KPU dan Kontroversi
Pemilu 1999. Jakarta : Pustaka Indonesia
Mulyo Sudarmo, Suwoto. 1997. Kapita Selekta Hukum
Tata Negara. Jakarta : Gramedia.
Sanit, Arbi. 1998. Reformasi Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
UU No. 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya
UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik
UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik
UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik
https://www.google.com/search?ie=UTF-8&oe=UTF-8&sourceid=navclient&gfns=1&q=sistem+politik+orde+baru
http://sistempolitikindonesia.blogspot.com/
0 Comment blog vaenggg :